BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam ekonomi islam, riba dapat diartikan sebagai sebuah
tambahan atas pinjaman yang diberikan kepada pihak peminjam terhadap pihak yang
dipinjamkan tanpa keikhlasan dari pihak yang meminjamkan. Ekonomi Islam kini
menganggap bahwa interest rate sebagai perannya dalam menggerakkan
perekonomian konvensional sekarang dapat diubah dengan rate on kapital,
yaitu pendapatan atas modal barang dan jasa dalam proses produksi. Dengan ini maka perbankan
Islam dapat menggerakan perputaran kegiatan atau aktivitasnya dengan ikut masuk
ke dalam proses produksi yaitu dengan ikut atau berperan aktif dalam kegiatan
usaha. Oleh karena itu, maka dua produk perbankan Islam yang sekarang ada
terbentuk dari ide dasar ini. Mudharobah dan musyarokah dapat
dikedepankan sebagai dua produk Islam yang muncul dari ide dasar bahwa
perbankan Islam haruslah perbankan yang mengambil untung dari ikut berperannya
mereka dalam proses produksi dengan mendapat bagian dri bagi hasil pendataan
atau dari untung usaha yang didapatkan perusahaan yang menjadi rekan usahanya.
Sekarang ini bank syariah telah
cukup berkembang. Bank syariah muncul di Indonesia pada awal tahun 1990-an.
Pemrakarsa pendirian bank syariah di Indonesia dilakukan oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990. Bank
Syariah pertama di Indonesia adalah BMI (Bank Muamalat Indonesia) yang mulai
beroperasi pada tanggal 1 Mei 1992. Bank syariah ada karena adanya keinginan
umat muslim untuk kaffah yaitu menjalankan aktivitas perbankan sesuai dengan
syariah yang diyakini, terutama masalah larangan riba, serta hal-hal yang
berkaitan dengan norma ekonomi dalam Islam seperti larangan maisyir (judi dan
spekulatif), gharar (unsur ketidak jelasan), jahala dan keharusan memperhatikan
kehalalan cara dan objek investasi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian bank syariah ?
2.
Bagaimana system dalam bank syariah?
3.
Apa saja produk dalam perankan syari’ah?
4.
Apa perbedaan bank syariah dengan bank konvensional?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
dan sejarah bank syariah
Bank syariah
adalah suatu bank yang dalam aktivitasnya baik dalam penghimpunan dana maupun
dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar
prinsip syariah.
Bank syariah muncul di Indonesia pada awal
tahun 1990-an. Pemrakarsa pendirian bank syariah di Indonesia dilakukan oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990. Bank Syariah pertama di Indonesia adalah BMI (Bank Muamalat
Indonesia) yang mulai beroperasi pada tanggal 1 Mei 1992.
B.
Sistem
dalam bank syari’ah
Perbankan
syariah menjalankan fungsi yang sama dengan perbankan konvensional, yaitu
sebagai lembaga intermediasi (penyaluran), dari nasabah pemilik dana (shahibul
mal) dengan nasabah yang membutuhkan dana. Namun, nasabah dana
dalam bank syariah diperlakukan sebagai investor atau penitip dana. Dana
tersebut disalurkan perbankan syariah kepada nasabah pembiayaan untuk beragam
keperluan, baik produktif (investasi dan modal kerja) maupun konsumtif. Dari
pembiayaan tersebut, bank syariah akan memperoleh bagi hasil/marjin yang
merupakan pendapatan bagi bank syariah. Jadi, nasabah pembiayaan akan membayar
pokok ditambah bagi hasil/marjin kepada bank syariah. Pokok akan dikembalikan
sepenuhnya kepada nasabah dana sedangkan bagi hasil/marjin akan dibagi hasilkan
antara bank syariah dan nasabah dana, sesuai dengan nisbah yang telah
disepakati.
Artinya dalam bank syariah, dana dari nasabah pendanaan harus di usahakan terlebih dahulu untuk menghasilkan pendapatan. Pendapatan itulah yang akan dibagi hasilkan untuk keuntungan bank syariah dan nasabah dana.
Artinya dalam bank syariah, dana dari nasabah pendanaan harus di usahakan terlebih dahulu untuk menghasilkan pendapatan. Pendapatan itulah yang akan dibagi hasilkan untuk keuntungan bank syariah dan nasabah dana.
Namun dalam kegiatannnya perbankan islam tidak boleh menyimpang dari
landasan dan prinsip-prinsip islam itu sendiri, karena timbulnya perbankan islam
adalah untuk menyempurnakan dari sistem sosialis dan konvensional yang bukan
saja berorientasi pada profitabilitas tapi juga bagaimana perbankan islam itu
sendiri mengedepankan etika dan moral dalam berbisnis di dunia perbankan yang
dapat menciptakan sebuah kegiatan perbankan yang efisien dan efektif (bebas
dari Riba, Gharar, Maysir, dll) sehingga dapat berimplikasi pada pembangunan
ekonomi, kesejahteraan rakyat, menciptakan pasar ekonomi yang sehat dan
menghilangkan paradigma dzalim.
C. Produk dalam perbankan syari’ah
Produk
perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1.
Produk penyaluran dana
a. Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Transaksi jual beli
dibedakanberdasarkan 4 bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang,
seperti:
1) Pembiayaan Murabahah
Murabahah adalah transaksi jual beli
di mana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual,
sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari
pemasok ditambah keuntungan. Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan
jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika
telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan, murabahah
lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bi tsaman ajil).
Dalam transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad, sedangkan pembayaran
dilakukan secara tangguh.
Menurut ulama fiqh murabahah
diperbolehkan. Hal ini dikarenakan
murabahah mencerminkan transaksi jual beli dimana harga jual adalah akumulasi
dari biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk mendatangkan objek transaksi
dengan tambahan tertentu yang telah disepakati bersama.[1]
2) Salam
Salam adalah
transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada. Dalam
praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan
menjualnya kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara angsuran.
Umumnya transaksi ini diterapkan dalam penbiayaan barang yang belum ada,
seperti pembelian komoditi dijual kembali secara tunai atau secara cicilan.
3) Istishna
Produk istishna
menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan
oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim istishna dalam
bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan kontruksi.
b. Prinsip Sewa (Ijarah)
Transaksi
ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah
sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaanya terletak pada objek
transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada
ijarah objek transaksinya adalah jasa.
c. Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Produk
pembiayaan syariah yang didasarkan pada prinsip bagi hasil adalah:
1) Musyarakah
Musyarakah adalah semua bentuk usaha
yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana secara bersama – sama memadukan
seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Bentuk
kontribusi dari pihaki yang bekerja sama dapat berupa dana, barang perdagangan
(trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), keahlian (skill),
kepemilikan (property), peralatan (equipment), atau intangible asset( seperti
hak paten atau goodwill), kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang –
barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Dengan merangkum seluruh
kombinasi dari bentu kontribusi masing – masing pihak dengan atau tanpa batasan
waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel.
Apabila terjadi kerugian, keempat
madzhab sunni mengatakan, bahwa dalam kontrak musyarakah tidak ada
fleksibilitas
Ø Mudharabah
Mudharabah
adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal
mempercayakan seju7mlah modal kepada pengelola dengan suatu perjanjian
pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100%
modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola. Beberapa ketentuan umum
mudharabah adalah;
v Jumlah modal y6ang diserahkan kepada
nasabah selaku pengelola modal harus diserahkan tunai;
v Hasil dari pengelolaan modal pembiayaan
mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara: perhitungan dari pendapatan
proyek (revenue sharing) dan perhitungan dari keuntungan proyek (profit loss
sharing).
v Hasil usaha dibagi sesuai dengan
persetujuan dalam akad pada setiap bulan atau waktu yang disepakati.
v Bank berhak melakukan pengawasan
terhadap pekerjaan, namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha
nasabah.
d. Akad Pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan
pembiayaan, biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak
ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah
pelaksanaan pembayaran. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan,
dalam akad pelengkap ini diperbolehkan untuk meminta pengganti biaya – biaya
yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekadar
untuk menutupi biaya yang benar – benar timbul.
Þ Hiwalah ( Alih Utang
Piutang)
Hiwalah adalah transaksi mengalihkan utang piutang. Dalam
praktik perbankan syariah, fasilitas hiwalah lazimnya untuk melanjutkan suplier
mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapatkan
ganti biaya atas jasa pemindahan piutang.
Þ Rahn (Gadai)
Tujuan akad rahn adalah memberikan jaminan pembayaran
kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan wajib
memenuhi kriteria sebagai berikut :
§ Milik nasabah
sendiri,
§ Jelas ukuran,
sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar,
§ Dapat dikuasai
namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.
Atas izin bank, nasabah dapat menggnakan barang tertentu
yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang
digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus
bertanggungjawab.
Þ Qardh
Qardh adalah pinjaman uang. Aplikasi qardh dalam
perbankan biasanya dalam empat hal yaitu:
Ø Sebagai pinjaman talangan haji, diman
nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran
biaya perjalanan haji.
Ø Sebagai pinjaman tunai (cash advance)
dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan untuk
menarik uang tunai melalui8 bank (ATM). Nasabah akan mengembalikannya sesuai
waktu yang ditentukan.
Ø Sebagai pinjaman kepada pengusaha
kecil, di mana menurut perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha bila
diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil.
Ø Sebagai pinjaman kepada pengurus bank,
dimana bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan
pengu7rus bank. Pengurus bank akan mengembalikannya secara angsur melalui
potongan gajinya.
Þ Wakalah
(Perwakilan )
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah
memberikan kuasa pada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa
tertentu, seperti pembukuan L/C (Letter of Credit), inkaso dan transfer uang.
Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian
kuasa harus cakap hukum. Khusus untuk pembukuan L/C, apabila dana nasabah tidak
cukup, maka penyelesaian L/C (settlement L/C) dapat dilakukan dengan pembiayaan
murabahah, salam, ijarah, mudharabah, atau musyarakah.
Þ Kafalah
(Garansi Bank)
Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk mrnjamin
suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mempersyaratkan nasabah untuk
menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahnb. Bank dapat pula
menerima dana tersebut dengan prinsip wadi’ah. Bank mendapatkan pengganti biaya
atas jasa yang diberikan.
2. Produk Penghimpunan Dana
Penghimpunan
dana di Bank Syariah dapat berbentuk giro, tabungan, dan deposito. Prinsip
operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah
prinsip wadi’ah dan mudharabah.
a. Prinsip
Wadi’ah
Ketentuan umum
dari produk ini adalah :
o Keuntungan atau kerugian dari
penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana
tidak dijanjikan imabalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan
memberi bonus kapada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana
masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan di muka.
o Bank harus
membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang
disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan
prinsip syariah. Khusus
bagi pemilik rekening giro, bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro, dan
debit card.
o Terhadap pembukaan rekening ini bank
dapat mengenakan pengganti biaya administrasi untuk sekadar menutupi biaya yang
benar – benar terjadi.
o Ketentuan – ketentuan lain yang
berkaitan dengan rekening giro dan tabungan berlaku selama tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.
b. Prinsip
Mudharabah
Þ
Mudharabah
Mutlaqah
Penerapan
mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua
jenis penghimpunan dana, yaitu tabungan mudharaba dan deposito mudharabah.
Berdasarkan prinsip ini, tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana
yang dihimpun.
Þ
Mudharabah
Muqayyadah on Balance sheet
Jenis
mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restricted investment) di mana
pemilik dana dapat menetapkan syarat – syarat tertentu yang harus dipenuhi
bank. Misalnya disyaratkan digunakan untuk bisnis tertentu, disyaratkan
digunakan deangan akad tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah
tertentu.
Þ
Mudharabah
Muqayyadah off Balance sheet
Jenis
mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana
usahanya, di mana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang
mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat
menetapkan syarat – syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh bank dalam mencari
kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pelaksanaan usahanya.
c. Akad
Pelengkap
Þ
Wakalah
(perwakilan)
Dalam
aplikasi perbankan, wakalah terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada
bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti inkaso
dan transfer uang.
3. Jasa
Perbankan
a. Sharf
(Jual Beli Valuta Asing)
Pada prinsipnya, jual beli valuta
asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata uang yang tudak
sejenis ini penyerahannya harus dilaksanakan pada waktu yang sama (spot). Bank
mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.
b. Ijarah
(sewa)
Jenis kegiatan ijarah antara lain
penyewaan kotak simpanan (safe deposit box) dan jasa tata laksana
administrasi dokumen (custodian). Bank dapat imbalan sewa dari jasa tersebut.
[1] Dimayuddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalat, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2008, Cetakan ke-1, hlm105.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar