Selasa, 13 September 2016

Makalah Studi Islam di Perguruan Tinggi Islam dan Pesantren

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.         Latar Belakang
Mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam, bahkan umat Islam di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Dengan komposisi penduduk yang demikian, harus disadari bahwa keberadaan studi Islam tidak bisa diremehkan. Pendidikan Islam di Indonesia merupakan warisan peradaban Islam, sekaligus aset bagi pembangunan pendidikan nasional. Sebagai warisan ia merupakan amanat sejarah untuk dipelihara dan dikembangkan oleh umat Islam dari masa ke masa. Sedangkan sebagai aset, pendidikan Islam yang terbesar diberbagai wilayah ini membuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menata dan mengolahnya sesuai dengan sisitem pendidikan nasional.
Upaya pengelolaan maupun pengembangan lembaga pendidikan Islam merupakan keniscayaan dan beban kolektif, bagi para penentu kebijakan pendidikan Islam.
1.2.            Rumusan Masalah
1.      Bagaimana eksistensi  lembaga pendidikan Islam di Indonesia ?
2.      Bagaimana orientasi dan  strategi pengelolaan lembaga pendidikan Islam ?
3.      Bagaimana manajemen studi pendidikan Islam di pesantren ?
4.      Bagaimana manajemen studi pendidikan Islam di perguruan tinggi?
1.3.            Tujuan
1.      Untuk mengetahui eksistensi  lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
2.      Untuk mengetahui orientasi dan pengelolaan lembaga pendidikan Islam.
3.      Untuk mengetahui manajemen studi pendidikan Islam di perguruan tinggi.
5.      Untuk mengetahui manajemen studi pendidikan Islam di pesantren

BAB II
PEMBAHASAN

1.1. Eksistensi  Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
Eksistensi lembaga pendidikan Islam di Indonesia terutama dalam bentuk pesantren telah cukup lama, seiring dengan keberadaan para penyebar Islam. Lembaga tersebut mengalami berbagai perkembangan dengan berdirinya madrasah, sekolah umum, perguruan tinggi, dan lembaga pelayanan umat. Lembaga-lembaga tersebut berkembang secara kuantitatif, bahkan jumlahnya bertambah dari tahun ketahun diseluruh Indonesia. Namun secara kualitatif masih menghadapi berbagai problem. [1]
Keberadaan pendidikan Islam yang berbentuk pesantren, madrasah, sekolah, maupun perguruan tinggi baik terpisah maupun bersama-sama dalam suatu kompleks masih jauh dari apa yang diharapkan ummatnya.[2]
Secara umum lembaga pendidikan Islam di Indonesia masih tertinggal. Kita harus menerima kenyataan yang pahit bahwa posisi pendidikan Islam di Indonesia menempati “kelas ekonomi” walau tetap memiliki komitmen untuk menjadikannya sebagai bahan pertimbangan dalam membangun kembali di masa depan.[3]
Memang tidak semua lembaga pendidikan islam seperti itu. Ada beberapa fenomena yang menunjukkan kemajuan yang signifikan dan diminati masyarakat sehingga muncul penilaian, “Dulu masyarakat malu memasukkan anaknya kesekolah Islam, tetapi sekarang malah memburu, khususnya sekolah yang sudah maju.”[4]
Tampaknya, minat masyarakat muslim terhadap lembaga pendidikan Islam belakangan ini telah bergeser dari pertimbangan ideologis menuju pertimbangan rasional. Artinya, mereka tidak bisa serta-merta memasukkan putra-putrinya ke madrasah atau sekolah Islam hanya karena kesamaan identitas keislaman. Akan tetapi, mereka melakukan seleksi. Jika ternyata lembaga pendidikan tersebut benar-benar maju, mereka sangat tertarik untuk menjadikannya sebagai pilihan. Bahkan jika lembaga pendidikan Islam dikelola dengan benar-benar profesional dan mampu membuktikan kemajuannya baik dari segi akademik maupun nonakademik, maka akan menjadi momentum terbaik untuk era sekarang ini. Sebab, kebutuhan masyarakat muslim kelas menengah keatas sekarang ini adalah terjaminnya mutu akademik dan kepribadian, terutama dalm menghadapi era globalisasi. Oleh karena itu, para pemimpin lembaga pendidikan Islam harus mampu “membaca” selera masyarakat tersebut. Caranya adalah dengan memiliki orientasi yang jelas dan melakukan pembenahan melalui strategi baru untuk meningkatkan kemajuan sehingga menjadi lembaga pendidikan Islam yang menjanjikan masa depan, baik jaminan keilmuan, kepribadian, maupun ketrampilan.[5]
1.2.Orientasi dan  Strategi Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam

1.      Orientasi Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam.
Lembaga pendidikan Islam harus memiliki orientasi yang jelas. Ibarat kendaraan, orientasi itu seperti trayek, yaitu jalur yang harus dilalui untuk mencapai tujuan. Dengan pengertian lain orientasi itu layaknya sasaran yang mengantarkan pada tujuan. Oleh karena itu, orientasi dapat membuat gerak pendidikan lebih teratur, teratur, dan terencana. Untuk merumuskan orientasi tersebut perlu mempertimbangkan fenomena-fenomena yang terjadi terkait dengan pendidikan.[6]
Gejala pertumbuhan lembaga pendidikan dengan berbagai ragam model merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dibendung lagi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang makin variatif. Gejala-gejala tersebut makin membiak dalam era modernisasi dengan arus informasi yang sangat deras.
Selain dipengaruhi isu-isu yang mendunia, pendidikan Islam juga harus tanggap terhadap problem-problem nasional mengingat pendidikan Islam merupakan aset pembangunan pendidikan nasional. Dalam posisi seperti ini, sudah mejadi kewajiban moral bagi para praktisi pendidikan Islam untuk membrerikan kontribusi dalam memecahkan problematika yang mendera bangsa Indonesia. Pengembangan pendidikan Islam kedepan secara realistis harus disinkronkan dengan kebijakan pendidikan nasional guna membebaskan bangsa dari impitan berbagai persoalan. [7]
Seseorang dari lulusan lembaga pendidikan apa pun selama memiliki keunggulan tertentu yang tidak dimiliki oleh lulusan-lulusan lainnya, tentu akan mengangkat derajat martabat lembaga tempat ia belajar. Dengan begitu, lulusan/ alumni berfungsi sebagai refleksi kualitas lembaga pendidikan, meskipun hal tersebut bukan indikator satu-satunya.
Untuk mewujudkan kualitas pendidikan yang teruji dengan baik, ada beberapa prinsip orientasi strategis dalam mengembangkan pendidikan Islam, yaitu :
a.       Orientasi pengembangan sumber daya
b.      Mengarah pada pendidikan Islam multikulturalis
c.       Mempertegas misi dasar ‘liutammima makarim al-akhlaq’ (untuk menyempurnakan akhlaq manusia)
d.      Mengutamakan spiritualisasi dan watak kebangsaan.[8]

2.      Strategi Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam

Memilih suatu strategi yang akan digunakan harus mempertimbangkan berbagai kondisi yang dirasakan lembaga pendidikan Islam itu, sehingga menjadi strategi yang fungsional. Strategi semacam itu harus berbentuk langkah-langkah operasional yang dapat dipraktikan dengan suatu mekanisme tertentu yang memberikan jalan keluar.
H.A.R Tilaar menyarankan bahwa pengelolaan pendidikan Islam sebaiknya meliputi empat langkah bidang priporitas berikut ini : Peningkatan kualitas, pengembangan inovasi dan kreativitas, membangun jaringan kerja sama( networking ), pelaksanaan otonomi daerah.[9]
Ada beberapa strategi yang perlu disarankan dalam mengelola dan mengembangkan lembaga pendidikan Islam baik berupa pesantren, madrasah, sekolah, serta perguruan tinggi, yaitu :
a.       Merumuskan visi, misi, dan tujuan lembaga secara jelas serta berusaha keras mewujudkannya secara riil sehari-hari.
b.      Membangun kepemimpinan yang benar-benar profesional (terlepas dari intervensi ideologi, politik, organisasi, dan mazhab dalam menempuh kebijakan lembaga).
c.       Menyiapkan pendidik yang benar-benar berjiwa pendidik sehingga mengutamakan tugas-tugas pendidikan dan bertanggung jawab terhafdap kesuksesan peserta didiknya.
d.      Merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan masyarakat.
e.       Menggali strategi yang dapat mengakselerasi kemampuan siswa yang masih rendah menjadi lulusan yang kompetitif.
f.       Meningkatkan promosi untuk membangun citra (image building).
g.      Menyinkronkan kebijakan-kebijakan lembaga dengan kebijakan-kebijakan pendidikan nasional dll.[10]
2.3.Manajemen Studi Pendidikan Islam di Pesantren

Ditinjau dari segi keterbukaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dari luar, pesantren dapat dibagi menjadi dua : pesantren tradisional(salafi) dan pesantren modern(khalafi). Pesantren salafi bersifat konserfatif, sedangkan pesantren khalafi bersifat adaptif. Adaptasi dilakukan terhadap perubahan dan pengembangan pendidikan yang merupakan akibat dari tuntutan perkembangan sains dan teknologi modern. Perbedaan pesantren tradisional dengan pesantren modern dapat dapat diidentifikasi dari perspektif manajerialnya. Pesantren modern telah dikelola secara rapi dan sistematis dengan mengikuti kaidah-kaidah manajerial yang umum. Sementara itu, pesantren tradisional berjalan berjalan secara alami tanpa berupaya mengelola secara efektif. Maka, pembahasan manajemen ini lebih diarahkan pada pesantren tradisional(salafi) karena pesantren jenis ini menghadapi tantangan multidimensi.[11]
Pesantren tradisional merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Keberadaanya mengiringi kehadiran Islam sebagai salah satu saluran dakwah yang dipandang cukup efektif dalam membuat santri agar memiliki pengetahuan agama yang matang sehingga kelak bisa mengajarkan pada orang lain. Kesinambungan generasi pelaku dakwah Islam dapat dibina dan dikader melalui pesantren itu.
Kebanyakan pesantren tradisional dikelola berdasarkan tradisi, bukan profesionalisme berdasarkan keahlian, baik kemampuan SDM, kemampuan konseptual, maupun kemampuan teknik secara terpadu. Akibatnya, tidak ada perencanaan yang matang, distribusi kekuasaan atau kewenangan yang baik, dan sebagainya.[12]
Anggapan bahwa pertimbangan-pertimbangan rasional kurang diperhatikan oleh pesantren memang benar. Mengolah konsep apapun tentang pesantren ternyata bukan pekerjaan yang mudah. Tidak ada konsep yang mutlak rasional dan paling tepat jika diterapkan di pesantren, baik karena faktot historis pertumbuhannya yang unik maupun ketertinggalan dari lembaga kemasyarakatan lainnya dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang teknis. Pesantren belum mampu mengolah dan melaksanakan konsep yang disusun berdasarkan pertimbangan rasional.[13]
Kondisi manajerial di pesantren selalu terikat pada kiai sebagai figur paling berpengaruh. Oleh karenanya, untuk menelsuri kualitas maupun corak manajemen dipesantren secara detail dan mendalam harus dilakukan dengan menelusuri posisi dan kekuasaan kiai.
Dalam hal ini Abdurrahman Mas’ud mengatakan bahwa para santri menerima kepemimpinan kiai karena begitupercaya pada konsep dalam masyarakat Jawa, yaitu berkah atau barokah yang didasarkan atas doktrin status keistimewaan seorang alim dan wali.[14]
Oleh karena itu, kiai sebagai figur sentral pesantren perlu menggali prinsip, konsep dan teknik pembuatan keputusan pendidikan yang terus berkembang. Model pembuatan keputusan dipesantren dapat berupa kombinasi model klasik dan model administratif, sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Selain itu, dapat dikembangkan pula model pembuatan keputusan yang parsitipatif yang dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan pendidikan dan pengajaran pesantren.

2.4.Manajemen Studi Pendidikan Islam di Perguruan Tinggi

Dari segi tanggung jawab pengelolaan, Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) terbagi menjadi dua, yaitu Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dan Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS). Dari segi ruang lingkup program studi yang ditawarkan, PTAIN terbagi menjadi 3 yaitu, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan Universitas Islam Negeri (UIN).
Perkembangan PTAIN menghadapi kendala politis, kultural, sosial dan psikologis. Kendala politis itu terjadi misalnya menyagkut pengembangan kelembagaan seperti yang terjadi pada zaman Orde Baru. Pada rezim Soeharto sangat sulit untuk mengubah IAIN manjadi UIN dan perubahan ini baru bisa dilakukan pada tahun 2002. Kendala yang lainnya adalah dimensi sosial masyarakat.
Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN )  di indonesia dari segi ruang lingkup keilmuan, mestinya IAIN lebih luas daripada STAIN, tetapi pada pelaksanaannya tidak jauh berbeda. Hanya saja, IAIN membuka 5 fakultas utama yaitu fakultas syariah, ushuludin, adab, tarbiyah dan dakwah. Sementara itu STAIN hanya rata-rata hanya membuka tiga macam fakultas yang kemudian disebut dengan istilah jurusan. Embrio kelahiran STAIN berasal dari fakultas cabang IAIN sehingga ada kesamaan kajian dan sejarah. [15]kemudian ke arah yang lebih meluas lagi adalah UIN, Universitas Islam Indonesia merupakan wujud perkembangan paling signifikan dari serangkaian perjuangan kelembagaan PTAIN, setidaknya sampai sekarang ini.
Ada pemikiran dasar yang menjadi alasan berdirinya UIN sebagai sebuah pengembangan kelembagaan yang kehadirannya telah lama ditunggu-tunggu. Abuddin Nata menjelaskan bahwa setidaknya ada lima alasan yang melatarbelakangi perlunya konservasi IAIN menjadi UIN, yaitu :
a.       Ada perubahan jenis pendidikan pada madrasah aliyah.
b.      Perubahan IAIN menjadi UIN akan memberikan peluang yang lebih luas bagi para lulusannya untuk dapat memasuki lapangan kerja yang lebih luas.
c.       Memberikan peluang kepada lulusan IAIN untuk melakukan mobilitas vertikal, yakni kesempatan dan peran untuk memasuki medan gerak yang lebih luas.
d.      Menghendaki adanya pelayanan penyelenggaraan pendidikan yang profesional dan berkualitas tinggi juga dapat menawarkan banyak pilihan.[16]  


BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Secara umum lembaga pendidikan Islam di Indonesia masih tertinggal. Kita harus menerima kenyataan yang pahit bahwa posisi pendidikan Islam di Indonesia menempati “kelas ekonomi” walau tetap memiliki komitmen untuk menjadikannya sebagai bahan pertimbangan dalam membangun kembali di masa depan. Oleh karena itu, para pemimpin lembaga pendidikan Islam harus mampu “membaca” selera masyarakat tersebut. Caranya adalah dengan memiliki orientasi yang jelas dan melakukan pembenahan melalui strategi baru untuk meningkatkan kemajuan sehingga menjadi lembaga pendidikan Islam yang menjanjikan masa depan, baik jaminan keilmuan, kepribadian, maupun ketrampilan.
Ditinjau dari segi keterbukaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dari luar, pesantren dapat dibagi menjadi dua : pesantren tradisional(salafi) dan pesantren modern(khalafi). Pesantren salafi bersifat konserfatif, sedangkan pesantren khalafi bersifat adaptif. Adaptasi dilakukan terhadap perubahan dan pengembangan pendidikan yang merupakan akibat dari tuntutan perkembangan sains dan teknologi modern.
Dari segi tanggung jawab pengelolaan, Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) terbagi menjadi dua, yaitu Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dan Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS). Dari segi ruang lingkup program studi yang ditawarkan, PTAIN terbagi menjadi 3 yaitu, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan Universitas Islam Negeri (UIN).


REFERENSI

Abudin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2003.
Moh. Ali Azis, Manajemen Pesantren, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2005.
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, PT Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2001.
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Mnajemen Pendidikan Islam, Erlangga, Jakarta, 2007.
A.Malik Fajar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam,  Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusun Naskah Indonesia [LP3NI], 1998.
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Majalah Tarbiyah Tulungagung IAIN Sunan Ampel, No. 9, Tahun V, 1993.
H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2000.
A. Malik Fajar, Horison Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Aditya Media Yogyakarta bekerja sama dengan UIN Press, Yogyakarta


[1] Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, Erlangga, Jakarta, 2007, hlm. 42.
[2] A. Malik Fajar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam,  Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusun Naskah Indonesia [LP3NI], 1998, hlm.104.
[3] Prof. Dr. Mujamil Qomar, Majalah Tarbiyah Tulungagung IAIN Sunan Ampel, No. 9, Tahun V, 1993, hlm. 29.
[4] Prof. Dr. Mujamil Qomar, “Manajemen Madrasah dalam Menatap Masa Depan: Sebuah Upaya Menatap Memberdayakan Pengelola Madrasah”, Jurnal Ilmiah Tarbiyah, Vol. 23, No. 8, Juni 2002, hlm. 344-345.
[5] Opcit, 47.             
[6] Op.cit. hlm.47.
[7] A. Malik Fajar, Horison Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Aditya Media Yogyakarta bekerja sama dengan UIN Press, Yogyakarta, 2004, hlm. xxi-xxii.
[8] Ibid. hlm. xxii-xxiii.
[9] H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 155.
[10] Op.cit. hlm.56-57.
[11] Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, Erlangga, Jakarta, 2007, hlm.58.
[12] Ibid. hlm.59.
[13] Moh. Ali Azis, Manajemen Pesantren, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2005, hlm. 67.
[14] Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi, LKIS, Yogyakarta, 2004, hlm. 13.
[15] Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, Erlangga, Jakarta, 2007, hlm.110.
[16] Abudin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2003, hlm. 64-69.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar